Rabu, 31 Desember 2014

Jayalah Almamaterku: Universitas Negeri Surabaya

“Universitas Negeri Surabaya”

Apa yang ada di pikiran anda semua ketika mendengar nama LPTK yang ada di Provinsi Jawa Timur tepatnya di kota Pahlawan itu?

Yah, tentu beragam jawaban yang bisa dihasilkan. Namun tidak menutup kemungkinan salah satu jawabannya adalah ‘sebuah kampus yang mencetak banyak guru dan dulunya bernama IKIP Surabaya’.
Sebuah jawaban yang singkat dan memang sangat mengena serta bisa menggambarkan perguruan tinggi tersebut. Namun sesungguhnya, jawaban itu masih kurang cukup untuk menjelaskan apa Unesa (Universitas Negeri Surabaya) yang sesungguhnya.

Dalam sebuah acara di televisi nasional yang ditayangkan pada tanggal 29 Desember 2014 kurang lebih pada pukul 18.00 WIB mengupas beberapa hal yang berkaitan dengan universitas pencetak guru ini dengan mendatangkan pejabat tinggi di perguruan tinggi tersebut. Yakni dengan mendatangkan narasumber Rektor Universitas Negeri Surabaya beserta dengan para pembantu-pembantu rektornya.


Rektor Universitas Negeri Surabaya

Acara ini nampaknya memang khusus untuk membahas salah satu LPTK yang ada di negeri ini. Hal ini dilakukan karena khusus untuk menyambut usia emas sebuah perguruan tinggi yang dulunya bernama IKIP Surabaya itu. Yah... Universitas Negeri Surabaya memiliki usia yang sudah setengah abad. Sebuah usia yang sangat matang dalam menjajaki sebuah kehidupan.

Stasiun televisi itu mengangkat sebuah tema yakni “Unesa di Tahun Emas Siap Hadapi MEA 2015”. Dengan mengangkat tema seperti itu, maka tentunya kajian yang ada di dalam acara itu menjabarkan tentang berbagai macam program kegiatan baik yang bersifat akademis maupun non akademis yang dirancang khusus untuk menghasilkan generasi bangsa yang siap dalam menjalani kehidupan dan membangun negeri, khususnya untuk menghadapi MEA 2015.

Prof. Dr. Warsono, MS., selaku Rektor Unesa memaparkan beberapa hal yang berkaitan erat dalam mempersiapkan generasi unggul untuk membangun negeri. Beberapa pemaparan yang beliau sajikan garis besarnya akan saya coba sajikan berikut.

Menanggapi pertanyaan masyarakat yang berkaitan dengan tingkat kefokusan Unesa. Yang mana menanyakan kefokusan Universitas Negeri Surabaya lebih menjurus ke bidang apa, sebab di dalamnya bukan hanya ada jurusan pendidikan saja. Kemudian bagaimana dengan sikap guru saat ini yang menyuruh siswanya berakhlak baik namun guru itu sendiri malah melakukan hal buruk di dalam lingkup pendidikan. Rektor Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Warsono, MS. Pun menjelaskan bahwa Universitas Negeri Surabaya akan tetap berkomitmen dalam bidang pendidikan dan mencetak guru-guru bangsa yang luar biasa. Namun untuk menunjang kemampuan para mahasiswanya, maka perlu adanya prodi ataupun mata kuliah yang bersifat non kependidikan. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi seorang guru tentu harus memiliki berbagai macam pengetahuan, bukan hanya mempelajari dalam bidang kependidikan saja. Disamping itu untuk menampung dan menjembatani kemampuan serta bakat mahasiswa yang kurang minat dalam dunia kependidikan, maka sudah tentu LPTK harus mengembangkan sayap dengan membuka jurusan-jurusan non kependidikan. Tentunya jurusan-jurusan yang dibuka memiliki urgensi di dalam kehidupan masyarakat nantinya.

Berkaitan dengan karakter seorang pendidik zaman sekarang, Rektor Unesa tersebut menjelaskan bahwasannya “sepintar apapun seseorang tetapi apabila akhlaknya buruk, maka orang itu akan NOL di mata masyarakat”. Sehingga di dalam menciptakan generasi bangsa yang berakhlak, Unesa memiliki cara-cara untuk membina dan menghabituasikan akhlak mahasiswanya. Hal ini sejalan dengan motto yang dipakai oleh Unesa yakni Growing with Character.

Beliau juga memaparkan bahwasannya seorang guru, yang dikenal dengan kepanjangan ‘digugu dan ditiru’, menjadi sebuah istilah yang relevan di dalam masyarakat. Sebab ketika kita menjadi seorang guru, maka tentunya kita harus konsisten dengan tugas yang diemban tanpa melihat ini dan itu. Sebab menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Menjadi seorang guru membutuhkan jiwa yang ikhlas, jiwa yang peduli, jiwa yang memiliki idealisme, sehingga dapat membangun bangsa menjadi lebih baik lagi. Dengan tidak mudahnya menjadi seorang guru, maka guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia. Untuk itu seorang guru mendapatkan tiga gaji. Yakni pertama gaji rupiah yang diterima dalam bentuk uang. Kedua gaji pahala yang mana membuka tabir kebodohan dan mengamalkan ilmu yang dimiliki adalah suatu ibadah. Ketiga adalah gaji do’a, dari kesabaran, keihlasan yang dia berikan kepada para siswanya hingga siswanya bisa menjadi orang yang sukses, maka tentunya akan banyak siswa-siswanya yang memberikan doa kepadanya.

Pembantu Rektor II Universitas Negeri Surabaya juga menjelaskan bahwasannya minat masyarakat terhadap profesi menjadi seorang guru saat ini sudah sangat meningkat. Hal ini dibuktikan dengan daya peminat masyarakat yang membuat Universitas Negeri Surabaya menduduki ranking kedua di provinsi Jawa Timur sebagai universitas dengan daya minat yang tinggi.

Dengan adanya peningkatan peminatan ini, tentunya membuat Universitas Negeri Surabaya harus dapat lebih berbenah menjadi lebih baik lagi. Hal ini pun tengah dilakukan bukan hanya dalam aspek akademis saja, namun juga dalam aspek non akademis. Yakni dengan adanya sistem eco campus yang bertepatan di kampus Universitas Negeri Surabaya daerah Lidah Wetan Surabaya. Hutan kampus atau hutan pendidikan itu tentunya memiliki banyak manfaat, selain menjadi eco campus, juga menjadi tempat reserfasi, serta menjadi hutan kota atau paru-paru kota nantinya.

Para petinggi Universitas Negeri Surabaya itupun menyebutkan bahwasannya untuk menghadapi MEA 2015 dibutuhkan 4 hal yang harus dipersiapkan. Empat hal tersebut ialah pertama, profesionalisme yang mana berkaitan dengan kemampuan akademik yang berhubungan dengan bidangnya. Kedua kemampuan berbahasa inggris. Hal ini dikarenakan bahasa Inggris adalah bahasa dunia sehingga jika kita ingin maju dan bersaing di dunia maka sudah seharusnya kita mampu dan menguasai bahasanya. Ketiga ialah menguasai teknologi. Kita sudah tahu bahwa saat ini dunia teknologi sudah semakin luar biasa pesat perkembangannya, maka tentunya kita harus mampu dan menguasai teknologi untuk menunjang kemajuan kehidupan nantinya. Yang terakhir ialah memiliki moralitas yang kuat. Seperti yang telah diungkapkan oleh Rektor Universitas Negeri Surabaya, bahwasannya memiliki otak yang pintar tanpa diimbangi dengan akhlak yang baik maka tentunya akan menjadi hal yang sia-sia dan tidaklah ada artinya.

Demikianlah pemaparan kilas tentang persiapan Unesa dalam melangkahkan kakinya pada usia setengah abad dalam membangun ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ untuk anak-anak bangsa.

Doa saya sebagai penulis, sekaligus sebagai alumnus universitas ini ialah semoga Unesa diusianya yang semakin matang ini dapat menjadi perguruan tinggi yang semakin JAYA !, dan menjadi sebuah perguruan tinggi yang amanah dalam mencetak generasi-generassi pengubah nasib bangsa dan negeri untuk menjadi lebih baik lagi (baik dalam hal otak maupun akhlak). Aamiin. 

Selasa, 23 Desember 2014

Maafkan Khilafku Ibu...




Mengenang perayaan yang dirayakan oleh berbagai macam kalangan dalam merayakan Hari Ibu, membuat saya teringat akan masa-masa dulu. Ada suatu kejadian yang ketika itu, hingga sekarang masih tersimpan dengan sangat rapi di dalam benak saya. Hingga jikalau saya mengingatnya, untaian air mata nakalpun tak terbendung mengalir dari kedua mata saya, sebab perasaan bersalah yang amat mendalam itu masih kurasakan hingga sekarang.

Kejadian itu bermula ketika saya sudah lulus dari sebuah Sekolah Menengah Atas negeri di Kota Surabaya, sayapun memutuskan untuk ikut tes masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan mengambil jurusan yang sesuai dengan keinginan saya. Meski saya tahu kalau jurusan yang saya minati ini bertolak belakang dengan yang diminati oleh ibu saya.

Kala SMA, saya yang masuk jurusan IPA dan ikut kegiatan PMR, sudah mulai terbesit keinginan jika kuliah nanti saya ingin mengambil jurusan kesehatan. Hingga akhirnya saat ujian masuk perguruan tinggi negeri saya memutuskan untuk memilih jurusan keperawatan (Akper) dan kesehatan masyarakat (FKM). Namun saya gagal di tes pertama ini. Kemudian saya ikut tes SNMPTN. Dan lagi-lagi saya mengambil jurusan yang berbeda dengan harapan ibu saya. Saya pun justru nekat dan memberanikan diri mengambil jenis tes IPS, padahal saya berasal dari jurusan IPA. Kali ini saya mencoba masuk ke jurusan ekonomi.

Saat itu saya masih belum sadar, jikalau ibu saya sangat keberatan dengan jurusan yang saya ambil. Sehingga dengan berat hati ibu saya meng’iya’kan keputusan saya. Dan ketika pengumuman, lagi-lagi saya pun gagal lolos SNMPTN di tahun pertama.

Karena kendala ekonomi di keluarga saya, maka tidak memungkinkan jika saya daftar melalui jalur mandiri ataupun jalur yang lainnya pada tahun itu. Sehingga saya pun memutuskan untuk break setahun dan saya memanfaatkan untuk membantu kedua orang tua mengais rejeki sekalipun juga untuk menabung daftar masuk PTN di tahun depannya.

Setahun telah berlalu, sayapun mendaftar SNMPTN dan mengambil jenis tes IPC yakni sebuah jalur tes dengan sistem campuran jurusan di dalamnya. Saya dapat memasukkan jurusan IPA dan jurusan IPS di beberapa perguruan tinggi yang saya minati. Dan lagi-lagi saya masukkan jurusan kesehatan di pilihan pertama saya. Saya lupa pilihan kedua saya kala itu apa, namun karena sesuai dengan saran dan harapan ibu, akhirnya saya masukkan jurusan yang diinginkan oleh ibu saya. Dan dengan berat hati saya masukkan jurusan kependidikan, itupun di pilihan terakhir (yakni pilihan ketiga).

Hal ini saya lakukan lantaran memang sama sekali tidak terbesit di dalam benak saya untuk menjadi seorang guru. Karena saat itu pikiran saya beranggapan kalau guru harus pintar (saya merasa tidak pintar), guru harus sabar (saya bukanlah seseorang yang penyabar), guru harus telaten dan menyayangi anak-anak (bahkan saya kurang menyukai anak), dengan begitu sama sekali tak ada keinginan di dalam diri saya untuk menjadi seorang guru. Meski memang semenjak SMA saya menjadi guru privat anak-anak Sekolah Dasar, namun masih saja saya merasa kurang nyaman dengan profesi itu.

Lantas ketika tiba malam menjelang pengumuman penerimaan mahasiswa SNMPTN, saya pun mendapat kabar dari salah seorang sahabat yang aktif menjadi netizen. Dia mengabarkan kalau saya lolos dan diterima di PTN. Namun Allah berkehendak lain, entah kenapa saya lolos di jurusan pilihan terakhir saya, yaitu jurusan pendidikan. Saat itu pula perasaan kecewa di dalam pikiran dan hati ini bercampur aduk. Saya sangat bersyukur bisa masuk PTN, namun disisi lain jurusan yang menerima saya sama sekali jurusan yang tidak saya harapkan. Saya pun mencoba menyembunyikan kekecewaan ini dari ibu beserta keluarga saya.

Masih tidak percaya kalau saya diterima di pilihan terakhir saya. Saya pun membeli koran pada hari pengumuman. Saya cari satu per satu nama dan nomor pendaftaran yang sesuai dengan identitas saya. Dan “duarrrr!!!” kecewa itu semakin besar ketika saya menemukan nama saya memang diterima di jurusan yang sama sekali tidak saya harapkan.

Ketika saya mengatakan ke ibu kalau saya diterima SNMPTN di jurusan kependidkan, sontak kala itu ibu langsung sujud syukur. Entah beliau merasakan kekecewaanku atau tidak. Namun beliau berkata “doa ibu di dengar, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah”. Rona kebahagiaan pun terpancar di wajah beliau. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang sedang saya rasakan kala itu.


Memang benar, jika doa ibu akan dikabulkan oleh Allah...
Sebab ridho seorang ibu, sama halnya dengan ridho yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya...


Saat itu pula aku berpikir, kalau selama ikut tes masuk PTN di tahun-tahun sebelumnya, ibu memang mendoakan saya namun ada keterpaksaan di dalam restu dan do’anya. Lain halnya dengan saat ini, ibu mendoakan saya dengan tulus agar lolos di pilihan (jurusan pendidikan) yang sesuai dengan harapan ibu tentunya. Mungkin memang, doa ibu salah satu jalan untuk mendapatkan restu Allah. Sehingga memang inilah jawaban Allah.

Saya pun dengan berat hati mengurus segala keperluan mahasiswa baru. Hingga di semester2 awal perkuliahan pun saya merasa penuh keterpaksaan. Mata kuliah yang saya pelajari sangat jauh dari mata kuliah yang saya minati. Saya pun tidak memiliki semangat penuh di awal kuliah. Ketika ada tugas, saya asal-asalan mengerjakannya, ketika ujian saya tidak memikirkan jawaban saya benar atau salah yang penting saya mengerjakan. Hingga akhirnya IPK semester 1 saya kurang dari 3. Ketika ibu saya tahu IPK saya kurang dari 3, beliau sedikit kecewa. Dan nampaknya beliau mulai menyadari kalau saya merasa terpaksa kuliah di jurusan ini. Dengan penuh kesabaran beliaupun menjelaskan pentingnya tanggung jawab, termasuk tanggung jawab dalam menuntut ilmu.

Berhari-hari saya memikirkan ucapan ibu saya. Hingga tanpa sengaja saya menemukan buku catatan ibu saya yang sedang terbuka. Ketika saya baca ternyata isinya adalah curahan hati dan doa ibu untuk saya. Di dalamnya tertuang tulisan yang penuh dengan harapan, hingga air mataku pun terjatuh membaca tulisan latin itu. Tulisan yang sangat sederhana, namun bagiku memiliki makna yang luar biasa. Besar makna dan harapan yang ada di dalamnya.

Pernah di suatu malam, saya mengetahui ibu sedang sholat malam. Kala itu memang saya mendengar suara isak tangisan, hingga membuat saya terbangun. Pelan-pelan saya mencari sumber suara itu. Dan ternyata itu adalah suara tangisan ibu dalam kekhusukkan sholat malamnya. Di dalam doanya ia sebutkan nama saya dan kakak saya, serta semua keluarga saya. Besar harapan yang ibu tumpukan kepada saya dan kakak saya, untuk bisa mengubah nasib keluarga menjadi jauh lebih baik.

Pikiranku pun melayang semakin tak karuan ke masa-masa lampau. Dengan penuh kejujuran dan kesabaran ibu dan bapak saya membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan saya ingat kala saya kecil dan kala itu kakak saya masih sekolah, ibu saya ingin membeli bakso. Namun ia urungkan niatnya, ia tahan dan tepiskan keinginannya itu, dan uang itu beliau pakai untuk uang saku kakak saya. Beliau takut kalau kakak saya besok sekolah tanpa membawa uang saku dan tidak bisa jajan di sekolah.


Sungguh, keadaan yang menyayat hati...
Ya Allah, ampuni dosa besar yang sudah saya lakukan ini...


Semalaman saya memikirkan hal itu, hingga saya pun menyadari. Jerih payah kedua orang tua saya yang ingin menguliahkan anaknya. Ibu mengumpulkan uang dari hasil jerih payahnya bersama bapak sebagai seorang tukang sapu di sebuah kelurahan untuk membayar uang kuliah saya. Bahkan gaji sebagai seorang tukang sapu yang sangat sedikit masih kurang jika untuk makan. Ibu pun mencari rejeki lain dengan menjadi juru masak di sebuah kantor polisi. Dari uang-uang itulah ibu menguliahkanku.

Sontak saya pun tersadar bahwa saya harus mengubah pemikiran dan attitude saya. Saya harus mau belajar menerima dan membiasakan diri dengan jurusan kuliah saya saat ini. saya harus bisa menepis perasaan egois di dalam diri saya. Hingga akhirnya, saya pun berusaha mengejar ketertinggalan saya dengan IPK diatas 3. Saya pun mulai belajar bertanggung jawab dengan kuliah saya, sehingga saya bisa membayar uang kuliah saya sendiri melalui hasil bimbel dan privat yang saya tekuni semenjak SMA. Dan bahkan, rezeki Allah masih mengalir. Saya pun mendapatkan beasiswa PPA selama beberapa semester melalui IPK yang saya dapatkan.


Dan kini, saya pun sudah lulus dan mendapatkan tambahan gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) di belakang nama saya...
Dan kini, saya pun sudah mengabdi menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta kecil di kota Surabaya...


Raut kebahagiaan dari wajah ibu pun tak dapat disembunyikan. Memang tak salah harapan ibu. Profesi guru benar-benar sebuah profesi yang mulia. Bukan hanya mencari dunia, namun juga mencari bekal akhirat. Sewaktu kecil ibu saya memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru, namun cita-cita itu harus ia pendam dalam-dalam karena keadaan ekonomi keluarga kala itu. Hingga ibupun bersumpah di dalam hatinya, jika ia memiliki anak kelak, ia berharap dapat menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya dan berharap anaknya akan menjadi seorang guru dan melanjutkan cita-citanya kala itu.

  


Sungguh, aku sangat menyayangimu ibu :*
Maafkan segala khilaf dan kesalahanku
Maafkan kedangkalan dalam pemikiranku kala itu
Maafkan ketidakhirauanku terhadap harapanmu kala itu
Sungguh, aku telah tersadar kini ibu
Akan ku coba mewujudkan harapanmu itu
Doakan anakmu...
Agar bisa menjadi pendidik bangsa
Yang berjiwa besar dan terbuka
Sehingga dengan ini, 
Saya bisa mencari bekal dunia dan akhirat nanti
Laksana surga di bawah telapak kakimu, 
Laksana itu pulalah engkau menyayangi dan meridhoiku

Peluk cium dari putrimu, Lailia
JJJ


Kamis, 04 Desember 2014

Revolusi Mental dan Jiwa Menjadi Generasi Anti-Korupsi


Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kasus korupsi tertinggi di dunia. Berbicara tentang korupsi tentunya tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat di Indonesia. Hal ini tentu dapat dilihat dari berbagai macam kasus korupsi yang menjerat para ‘pelayan’ rakyat mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah. Jenis anggaran atau uang negara yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam saku ‘tikus berdasi’ pun bermacam-macam. Mulai dari dana bank, dana pembangunan gedung, bahkan dana sosial, kesehatan dan pendidikan pun masih saja disalahgunakan oleh tangan-tangan jahil. Entah apa yang ada dipikiran para koruptor ketika dengan sadarnya mereka tega memakan sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Dimanakah harga diri kita sebagai bangsa yang beradab? Bangsa yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila?
Nilai-nilai Pancasila semakin hari nampaknya semakin pudar di dalam kehidupan dan kepribadian bangsa. Hal ini tentunya menjadi suatu masalah yang sangat serius. Sebab maraknya kasus korupsi menunjukkan rendahnya karakter bangsa kita. Untuk itu, perlu adanya banyak perbaikan dalam berbagai aspek di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Adapun perbaikan yang bisa dijadikan sebagai alternatif revolusi mental dan jiwa Anti-Korupsi ialah melalui :

Penghabituasian Nilai-nilai Anti-Korupsi Bidang Pendidikan


9 Nilai Anti-Korupsi
Dunia pendidikan merupakan sebuah langkah dalam membangun kemajuan bangsa untuk kehidupan yang akan datang. Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa “keberhasilan suatu negara dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya”. Pendidikan hendaknya bukan hanya bertumpu dalam pengembangan dan pemajuan kemampuan akademis saja, pembentukan nilai-nilai karakter (khususnya 9 nilai Anti-Korupsi) juga harus menjadi tumpuan utama guna menghasilkan output generasi bangsa yang beradab.
Selama ini banyak persepsi masyarakat yang menyebutkan bahwa kemampuan akademis adalah faktor utama keberhasilan seseorang, dan pada orang-orang jenius inilah yang akan memajukan sebuah Negara. Namun realitanya berkata lain, banyak orang yang mempunyai tingkat kecerdasan tinggi malah ingin mencari keuntungan pribadi. Sebut saja gayus Tambunan, yang notabene alumnus dari salah satu perguruan tinggi  terbaik di negeri ini, dengan intelektualitasnya dia menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya pribadi. Merekalah yang merugikan Negara dan masyarakat, dan mereka pula yang  justru akan membawa Negara pada kehancuran.
Untuk itu, dalam dunia pendidikan, pemerintah dapat bekerja sama menggandeng lembaga-lembaga Anti-Korupsi dan juga sekolah (khususnya guru) dalam upaya menghabituasikan nilai-nilai Anti-Korupsi pada diri peserta didik. Guru dapat lebih kreatif dalam menciptakan iklim pembelajaran yang dibalut dengan model pembelajaran penanaman jiwa-jiwa Anti-Korupsi di dalam diri peserta didik. Misalnya ialah adanya kotak tak bertuan di setiap penjuru sekolah yang berfungsi untuk meletakkan barang-barang yang ditemukan oleh siswa sehingga yang merasa kehilangan bisa langsung menuju kotak tak bertuan tersebut. Selain itu juga dengan mengajak siswa menyusun poster-poster yang berisi kata-kata untuk menanamkan jiwa Anti-Korupsi ataupun ajakan untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat yang akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi nantinya. Tentunya melaui pembiasaan dalam iklim pendidikan, akan bisa menjadikan siswa terbiasa menanamkan mental dan jiwa Anti-Korupsi di dalam dirinya.


Contoh gambar poster Anti-Korupsi buatan siswa

Pengawasan dalam Setiap Wewenang dan Kinerja


Pengawasan terhadap kinerja aparat negara
Masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak mudah untuk disadarkan. Ibarat kuda, perlu dipacu dan dipukul terlebih dahulu baru bisa berlari. Demikian halnya dengan masyarakat kita, mereka perlu diawasi dan diberikan ‘sentilan’ di dalam menjalankan berbagai macam wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya. Sesungguhnya ‘kejahatan terjadi karena ada kesempatan’. Maka pemerintah tentunya harus menggandeng aparat penegak hukum guna mengawasi dan mengontrol semua kinerja para ‘pelayan’ rakyat sehingga kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi pun akan dapat ditekan.

Memperbaiki Praktek Hukum Bangsa


Tak ada keberpihakan hukum
Hukum di negara kita sudah banyak, sesuai UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sehingga semua tindakan diatur di dalam hukum negara. Namun praktek pelaksanaannya yang membuat beberapa golongan menjadi ‘kebal’ hukum. Sehingga muncullah istilah bahwa hukum di negara kita tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Hal ini dapat dilihat ketika yang melanggar hukum adalah mereka yang tergolong kalangan ‘elite’ maka seakan-akan mereka kebal hukum, berbanding terbalik jika yang melanggar adalah masyarakat lemah. Seorang koruptor yang notabene kehidupannya berkecukupan kemudian ditangkap dan masih bisa berleha-leha diberikan fasilitas yang memadai, sedangkan seorang pencuri pisang di sawah yang tidak ada pilihan lain untuk menyambung hidup sehingga mencuri untuk menghilangkan rasa laparnya justru ditangkap dan dihukum tak sebanding dengan kesalahannya.
Dengan demikian, perlu adanya kesadaran hukum bagi semua masyarakat pada umumnya dan aparat penegak hukum pada khususnya. Jika memang negara kita negara hukum, maka tegakkanlah hukum itu tanpa memandang status dan kedudukan.

Bangun Mindset “Dilayani” Menjadi “Pelayan”


Aparat bekerja untuk rakyat
Selama ini, para aparat yang ada di negara kita senantiasa minta dimanjakan dan ‘dilayani’ oleh rakyatnya. Mereka melupakan jati diri dan tugas utama mereka menjadi aparat negara. yang seharusnya menjadi pengayom justru menjadi pengancam, yang seharusnya menjadi abdi negeri dan melayani berbagai kepentingan rakyat, justru menyalahgunakan dengan meminta imbalan ini dan itu. Bahkan budaya buruk menggunakan uang pelicin pun sudah mendarah danging di dalam otak bangsa.
Untuk itu, perlu membangun pemikiran para aparat yang tadinya suka dilayani oleh rakyat dengan meminta berbagai macam persembahan sehingga menjalankan tanggung jawabnya tidak setulus hati namun justru pamrih menjadi aparat yang benar-benar mengabdikan diri menjadi “Pelayan” rakyat yang sejati. Para aparat hendaknya juga dapat menekan perasaan egois di dalam diri sehingga mampu menepikan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan rakyat.

Proses ‘Mewujudkan Mimpi Indonesia Bebas Korupsi’ seperti ini tidak akan berhasil tanpa adanya kesungguhan dari masing-masing jiwa masyarakat Indonesia. Minimal kita dapat memperbaiki diri dan menghabituasikan nilai-nilai Anti-Korupsi di dalam diri kita masing-masing.



Katakan TIDAK pada KORUPSI dan Mulailah dari diri SENDIRI !!! J