Mengenang perayaan yang dirayakan oleh berbagai macam kalangan dalam merayakan
Hari Ibu, membuat saya teringat akan masa-masa dulu. Ada suatu kejadian yang
ketika itu, hingga sekarang masih tersimpan dengan sangat rapi di dalam benak
saya. Hingga jikalau saya mengingatnya, untaian air mata nakalpun tak
terbendung mengalir dari kedua mata saya, sebab perasaan bersalah yang amat
mendalam itu masih kurasakan hingga sekarang.
Kejadian itu bermula ketika saya sudah lulus dari sebuah Sekolah Menengah
Atas negeri di Kota Surabaya, sayapun memutuskan untuk ikut tes masuk Perguruan
Tinggi Negeri dengan mengambil jurusan yang sesuai dengan keinginan saya. Meski
saya tahu kalau jurusan yang saya minati ini bertolak belakang dengan yang
diminati oleh ibu saya.
Kala SMA, saya yang masuk jurusan IPA dan ikut kegiatan PMR, sudah mulai
terbesit keinginan jika kuliah nanti saya ingin mengambil jurusan kesehatan.
Hingga akhirnya saat ujian masuk perguruan tinggi negeri saya memutuskan untuk
memilih jurusan keperawatan (Akper) dan kesehatan masyarakat (FKM). Namun saya
gagal di tes pertama ini. Kemudian saya ikut tes SNMPTN. Dan lagi-lagi saya
mengambil jurusan yang berbeda dengan harapan ibu saya. Saya pun justru nekat
dan memberanikan diri mengambil jenis tes IPS, padahal saya berasal dari
jurusan IPA. Kali ini saya mencoba masuk ke jurusan ekonomi.
Saat itu saya masih belum sadar, jikalau ibu saya sangat keberatan dengan
jurusan yang saya ambil. Sehingga dengan berat hati ibu saya meng’iya’kan
keputusan saya. Dan ketika pengumuman, lagi-lagi saya pun gagal lolos SNMPTN di
tahun pertama.
Karena kendala ekonomi di keluarga saya, maka tidak memungkinkan jika saya
daftar melalui jalur mandiri ataupun jalur yang lainnya pada tahun itu.
Sehingga saya pun memutuskan untuk break setahun dan saya memanfaatkan untuk
membantu kedua orang tua mengais rejeki sekalipun juga untuk menabung daftar
masuk PTN di tahun depannya.
Setahun telah berlalu, sayapun mendaftar SNMPTN dan mengambil jenis tes IPC
yakni sebuah jalur tes dengan sistem campuran jurusan di dalamnya. Saya dapat
memasukkan jurusan IPA dan jurusan IPS di beberapa perguruan tinggi yang saya
minati. Dan lagi-lagi saya masukkan jurusan kesehatan di pilihan pertama saya.
Saya lupa pilihan kedua saya kala itu apa, namun karena sesuai dengan saran dan
harapan ibu, akhirnya saya masukkan jurusan yang diinginkan oleh ibu saya. Dan
dengan berat hati saya masukkan jurusan kependidikan, itupun di pilihan
terakhir (yakni pilihan ketiga).
Hal ini saya lakukan lantaran memang sama sekali tidak terbesit di dalam
benak saya untuk menjadi seorang guru. Karena saat itu pikiran saya beranggapan
kalau guru harus pintar (saya merasa tidak pintar), guru harus sabar (saya
bukanlah seseorang yang penyabar), guru harus telaten dan menyayangi anak-anak
(bahkan saya kurang menyukai anak), dengan begitu sama sekali tak ada keinginan
di dalam diri saya untuk menjadi seorang guru. Meski memang semenjak SMA saya
menjadi guru privat anak-anak Sekolah Dasar, namun masih saja saya merasa
kurang nyaman dengan profesi itu.
Lantas ketika tiba malam menjelang pengumuman penerimaan mahasiswa SNMPTN,
saya pun mendapat kabar dari salah seorang sahabat yang aktif menjadi netizen. Dia
mengabarkan kalau saya lolos dan diterima di PTN. Namun Allah berkehendak lain,
entah kenapa saya lolos di jurusan pilihan terakhir saya, yaitu jurusan
pendidikan. Saat itu pula perasaan kecewa di dalam pikiran dan hati ini
bercampur aduk. Saya sangat bersyukur bisa masuk PTN, namun disisi lain jurusan
yang menerima saya sama sekali jurusan yang tidak saya harapkan. Saya pun
mencoba menyembunyikan kekecewaan ini dari ibu beserta keluarga saya.
Masih tidak percaya kalau saya diterima di pilihan terakhir saya. Saya pun
membeli koran pada hari pengumuman. Saya cari satu per satu nama dan nomor
pendaftaran yang sesuai dengan identitas saya. Dan “duarrrr!!!” kecewa itu
semakin besar ketika saya menemukan nama saya memang diterima di jurusan yang
sama sekali tidak saya harapkan.
Ketika saya mengatakan ke ibu kalau saya diterima SNMPTN di jurusan
kependidkan, sontak kala itu ibu langsung sujud syukur. Entah beliau merasakan
kekecewaanku atau tidak. Namun beliau berkata “doa ibu di dengar,
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah”. Rona kebahagiaan pun terpancar di wajah
beliau. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang sedang saya rasakan kala itu.
Memang benar, jika doa ibu akan dikabulkan oleh Allah...
Sebab ridho seorang ibu, sama halnya dengan ridho yang diberikan oleh Allah
kepada hambaNya...
Saat itu pula aku berpikir, kalau selama ikut tes masuk PTN di tahun-tahun
sebelumnya, ibu memang mendoakan saya namun ada keterpaksaan di dalam restu dan
do’anya. Lain halnya dengan saat ini, ibu mendoakan saya dengan tulus agar
lolos di pilihan (jurusan pendidikan) yang sesuai dengan harapan ibu tentunya.
Mungkin memang, doa ibu salah satu jalan untuk mendapatkan restu Allah.
Sehingga memang inilah jawaban Allah.
Saya pun dengan berat hati mengurus segala keperluan mahasiswa baru. Hingga
di semester2 awal perkuliahan pun saya merasa penuh keterpaksaan. Mata kuliah yang saya
pelajari sangat jauh dari mata kuliah yang saya minati. Saya pun tidak memiliki
semangat penuh di awal kuliah. Ketika ada tugas, saya asal-asalan
mengerjakannya, ketika ujian saya tidak memikirkan jawaban saya benar atau
salah yang penting saya mengerjakan. Hingga akhirnya IPK semester 1 saya kurang
dari 3. Ketika ibu saya tahu IPK saya kurang dari 3, beliau sedikit kecewa. Dan
nampaknya beliau mulai menyadari kalau saya merasa terpaksa kuliah di jurusan
ini. Dengan penuh kesabaran beliaupun menjelaskan pentingnya tanggung jawab,
termasuk tanggung jawab dalam menuntut ilmu.
Berhari-hari saya memikirkan ucapan ibu saya. Hingga tanpa sengaja saya
menemukan buku catatan ibu saya yang sedang terbuka. Ketika saya baca ternyata
isinya adalah curahan hati dan doa ibu untuk saya. Di dalamnya tertuang tulisan
yang penuh dengan harapan, hingga air mataku pun terjatuh membaca tulisan latin
itu. Tulisan yang sangat sederhana, namun bagiku memiliki makna yang luar
biasa. Besar makna dan harapan yang ada di dalamnya.
Pernah di suatu malam, saya mengetahui ibu sedang sholat malam. Kala itu
memang saya mendengar suara isak tangisan, hingga membuat saya terbangun.
Pelan-pelan saya mencari sumber suara itu. Dan ternyata itu adalah suara
tangisan ibu dalam kekhusukkan sholat malamnya. Di dalam doanya ia sebutkan
nama saya dan kakak saya, serta semua keluarga saya. Besar harapan yang ibu
tumpukan kepada saya dan kakak saya, untuk bisa mengubah nasib keluarga menjadi
jauh lebih baik.
Pikiranku pun melayang semakin tak karuan ke masa-masa lampau. Dengan penuh
kejujuran dan kesabaran ibu dan bapak saya membesarkan dan menyekolahkan
anak-anaknya. Bahkan saya ingat kala saya kecil dan kala itu kakak saya masih
sekolah, ibu saya ingin membeli bakso. Namun ia urungkan niatnya, ia tahan dan
tepiskan keinginannya itu, dan uang itu beliau pakai untuk uang saku kakak
saya. Beliau takut kalau kakak saya besok sekolah tanpa membawa uang saku dan
tidak bisa jajan di sekolah.
Sungguh, keadaan yang menyayat hati...
Ya Allah, ampuni dosa besar yang sudah saya lakukan ini...
Semalaman saya memikirkan hal itu, hingga saya pun menyadari. Jerih payah
kedua orang tua saya yang ingin menguliahkan anaknya. Ibu mengumpulkan uang
dari hasil jerih payahnya bersama bapak sebagai seorang tukang sapu di sebuah
kelurahan untuk membayar uang kuliah saya. Bahkan gaji sebagai seorang tukang
sapu yang sangat sedikit masih kurang jika untuk makan. Ibu pun mencari rejeki
lain dengan menjadi juru masak di sebuah kantor polisi. Dari uang-uang itulah
ibu menguliahkanku.
Sontak saya pun tersadar bahwa saya harus mengubah pemikiran dan attitude saya. Saya harus mau
belajar menerima dan membiasakan diri dengan jurusan kuliah saya saat ini. saya
harus bisa menepis perasaan egois di dalam diri saya. Hingga akhirnya, saya pun
berusaha mengejar ketertinggalan saya dengan IPK diatas 3. Saya pun mulai
belajar bertanggung jawab dengan kuliah saya, sehingga saya bisa membayar uang
kuliah saya sendiri melalui hasil bimbel dan privat yang saya tekuni semenjak
SMA. Dan bahkan, rezeki Allah masih mengalir. Saya pun mendapatkan beasiswa PPA
selama beberapa semester melalui IPK yang saya dapatkan.
Dan kini, saya pun sudah lulus dan mendapatkan tambahan gelar sarjana
pendidikan (S.Pd.) di belakang nama saya...
Dan kini, saya pun sudah mengabdi menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta
kecil di kota Surabaya...
Raut kebahagiaan dari wajah ibu pun tak dapat disembunyikan. Memang tak
salah harapan ibu. Profesi guru benar-benar sebuah profesi yang mulia. Bukan
hanya mencari dunia, namun juga mencari bekal akhirat. Sewaktu kecil ibu saya
memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru, namun cita-cita itu harus ia
pendam dalam-dalam karena keadaan ekonomi keluarga kala itu. Hingga ibupun bersumpah
di dalam hatinya, jika ia memiliki anak kelak, ia berharap dapat menyekolahkan
anaknya setinggi-tingginya dan berharap anaknya akan menjadi seorang guru dan
melanjutkan cita-citanya kala itu.
Sungguh, aku sangat menyayangimu ibu :*
Maafkan segala khilaf dan kesalahanku
Maafkan kedangkalan dalam pemikiranku kala itu
Maafkan ketidakhirauanku terhadap harapanmu kala itu
Sungguh, aku telah tersadar kini ibu
Akan ku coba mewujudkan harapanmu itu
Doakan anakmu...
Agar bisa menjadi pendidik bangsa
Yang berjiwa besar dan terbuka
Sehingga dengan ini,
Saya bisa mencari bekal dunia dan akhirat nanti
Laksana surga di bawah telapak kakimu,
Laksana itu pulalah engkau menyayangi dan meridhoiku
Peluk cium dari putrimu, Lailia
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar